“Ubah dunia dengan mengubah kampus”merupakan sebuah jargon anonim yang
mungkin sudah sering didengar, khususnya bagi mereka yang sering
bergerak dalam pelayanan kampus. Hal ini bisa saja benar karena para
mahasiswa yang belajar di kampus, besar kemungkinannya, kelak akan
menjadi pemimpin dan pengambil kebijakan dalam dunia, baik dalam skala
global maupun lokal. Kampus memang
menjadi sebuah area dimana idealisme seseorang dibentuk. Alasan ini
semakin diperkuat dengan sebuah pendekatan psikologis yang mengatakan
rata-rata usia seseorang masuk ke perguruan tinggi atau kampus adalah
usia masa dewasa dini. Dimasa usia dewasa dini ini yaitu usia peralihan
dari remaja (merupakan periode pertumbuhan) ke dewasa. Dalam usia dewasa
dini ini, ada sebuah proses yang sangat penting, yang dalam ilmu
psikologi disebut sebagai “masa pengaturan”.
Dalam “masa pengaturan” inilah seseorang akan mengalami pergumulan akan
kemana arah hidupnya kelak, mau kerja dimana, mau menikah dengan siapa,
mencoba berbagai pola kehidupan, dsb. Seseorang akan mulai merencanakan
kehidupannya dengan lebih serius dan dalam fase inilah seseorang banyak
menghabiskan waktunya di kampus.
Faktor di ataslah yang akhirnya membuat pelayanan kampus menjadi
semakin sentral kedudukannya dalam usaha membentuk manusia-manusia yang
berkenan di hadapan Allah. Ditengah hiruk pikuk sistem nilai moral dan
etika yang bertebaran dimana-mana, informasi yang banal masuk silih
berganti tanpa filter, gaya hidup hedon (hura-hura) dikalangan anak-anak
muda, dsb pelayanan kampus hadir untuk mencoba menjadi filter bagi itu
semua. Pelayanan kampus mencoba hadir sebagai “garam dan terang”
ditengah “tawarnya” dunia kampus.
Bagaimanakah
kondisi kampus perguruan tinggi saat ini dalam membentuk manusia?
Bagaimana sebenarnya urgensi kehadiran pelayanan kampus di tengah-tengah
kampus? Apa peran kelompok kecil dalam strategi pengembangan pelayanan
kampus saat ini? Kampus memang
harus diakui sebagai gudangnya ilmu pengetahuan, namun ada satu hal yang
sering dilupakan bahwa dalam kampus itu sendiri jarang sekali (bahkan
tidak ada) yang mendidik para mahasiswanya untuk berkontemplasi. Kampus
memang berhasil menciptakan tek-nologi nuklir dari balik ruang
laboratoriumnya, namun kampus tidak berhasil mendidik maha-siswa untuk
bermeditasi. Kampus tidak pernah mendidik orang agar mencoba memahami
apa makna dari semua kehidupan ini, untuk apa manusia hidup, apa nilai
dan makna dari semua ini, dan berbagai pertanyaan tentang kehidupan
lainnya. Kebenaran tentang sesuatu yang ilahi dan kekal telah sekarat
dikarenakan kegiatan yang selalu berfokus pada penemuan dan riset.
Banyak sekali anak-anak muda di kampus tidak mengerti sama sekali apa panggilan dalam hidupnya. Hidup dijalani bagai sebuah mesin fotokopi lingkungannya. “Aku adalah apa yang lagi menjadi trend.” demikian kira-nya slogan anak muda di kampus. Jika di tahun 1998-2001 muncul istilah “generasi MTv” untuk menggambarkan pola perilaku anak muda ketika itu, maka di zaman sekarang “generasi infotai-ment”, “generasi Dahsyat”, dan berbagai generasi yang lainnya pun sama hebohnya dalam mem-bentuk arah kehidupan anak muda saat ini. Aktifitas pemuda di dalam kampus dilakukan nyaris tanpa makna, karena setiap aktifitas itu tidak didasari oleh sebuah konsep panggilan yang berni-lai kekal. Pelayanan kampus hadir di tengah kampus untuk mengabarkan atau memprokla-masikan sebuah panggilan yang harus didengarkan oleh semua manusia, khususnya anak muda, bahwa hidup harus didasari oleh sebuah panggilan yang bernilai kekal yang terdapat dalam Ye-sus Kristus, sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Sehingga dengan demikian, para anak muda yang berada dalam kampus mulai mengarahkan dan memperlengkapi dirinya untuk menggenapi pang-gilan itu dan tidak mau menjadi korban media atau lingkungaannya.
Pelayanan kampus hadir sebagai suluh bagi anak-anak muda yang belajar
untuk memban-tu mereka dalam merefleksikan keilmuan mereka ke dalam
terang ajaran Kristen.
Mahasiswa-mahasiswa yang kebanyakan adalah anak-anak muda dewasa dini
ini, mulai diajak untuk menilai kembali nilai yang telah mereka pegang
selama ini dengan mengkonfrontasikan-nya dengan Injil. Pelayanan kampus
ahirnya akan menjadi pembawa terang Injil untuk mengiluminasi dan
mem-beri harapan di tengah-tengah komunitas akademik. Pelayanan kampus juga bisa menjadi salah satu alat penginjilan di tengah kampus.
Wa-laupun pernyataan ini dikutip dari Donald G. Shockley yang berlatar
belakang dunia barat (Eropa dan Amerika), dimana disana sudah memasuki
era post-christianity,
sehingga masyarakatnya (secara khusus anak-anak muda) sudah tidak
percaya Kristus dan menolak ajaran Injil, bahkan ditambahkan dalam
bukunya bahwa banyak anak-anak muda tidak pernah mendengar kisah atau
cerita di Alkitab seumur hidupnya, sehingga tampaknya memang kampus
sangat relevan sebagai ladang penginjilan. Hal ini juga berlaku di
Indonesia, walaupun Indonesia belum memasuki era post-christianity seperti
yang sudah dialami dunia barat. Alasan kenapa pelayanan kampus di
Indonesia juga bisa digunakan sebagai sarana penginjilan adalah dengan
melihat terlebih dahulu kondisi sosial kampus. Kampus di Indonesia
(khususnya universitas dengan label perguruan ting-gi negeri) seperti
sebuah kota metropolitan, dimana di sana berkumpul banyak sekali orang
dari hampir semua propinsi di Indonesia, baik itu yang berasal dari
pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Indonesia bagian Timur. Sehingga ketika
pelayanan kampus berhasil menjala mereka dengan kebenaran Injil, maka
ketika mereka kembali pulang ke kampung halamannya, mereka akan
me-nyebarkan berita itu kepada keluarga dan handai taulannya di sana.
Hal ini akan semakin mem-bantu mempercepat penyebaran berita Injil. Banyak sekali anak-anak muda di kampus tidak mengerti sama sekali apa panggilan dalam hidupnya. Hidup dijalani bagai sebuah mesin fotokopi lingkungannya. “Aku adalah apa yang lagi menjadi trend.” demikian kira-nya slogan anak muda di kampus. Jika di tahun 1998-2001 muncul istilah “generasi MTv” untuk menggambarkan pola perilaku anak muda ketika itu, maka di zaman sekarang “generasi infotai-ment”, “generasi Dahsyat”, dan berbagai generasi yang lainnya pun sama hebohnya dalam mem-bentuk arah kehidupan anak muda saat ini. Aktifitas pemuda di dalam kampus dilakukan nyaris tanpa makna, karena setiap aktifitas itu tidak didasari oleh sebuah konsep panggilan yang berni-lai kekal. Pelayanan kampus hadir di tengah kampus untuk mengabarkan atau memprokla-masikan sebuah panggilan yang harus didengarkan oleh semua manusia, khususnya anak muda, bahwa hidup harus didasari oleh sebuah panggilan yang bernilai kekal yang terdapat dalam Ye-sus Kristus, sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Sehingga dengan demikian, para anak muda yang berada dalam kampus mulai mengarahkan dan memperlengkapi dirinya untuk menggenapi pang-gilan itu dan tidak mau menjadi korban media atau lingkungaannya.
Kelompok kecil
bisa menjawab kebutuhan ini karena di dalam kelompok kecil setiap
anggotanya akan dituntut untuk saling mengenal, membangun sebuah relasi
yang berkualitas, dan saling berbagi cinta kasih yang penuh aksi. Steve
Barker menyambung, “our need to know and be known, to love and be loved”[11]
akan dijawab secara tuntas dalam kelompok kecil. Hal ini menjadi wajar
karena dalam kelompok kecil jumlah anggotanya kecil atau sedikit,
sehingga interaksi di antara mereka pun semakin rapat, berkualitas,
walau (mungkin) dalam tingkat intensitas yang tidak terlalu tinggi.
Kelompok kecil juga hadir dikarenakan untuk membantu peran gereja.
Sebagai sebuah institusi, gereja tidak bisa lepas dari kelemahan.
Beberapa kelemahan yang tampak terlihat ada-lah komunikasi yang satu
arah, sense of belonging yang minim dalam jemaat, dikarenakan jum-lah anggota yang cukup banyak maka pembinaan rohani pun tampak tidak maksimal, dsb
adalah kelemahan yang bisa diminimalisir dengan membentuk kelompok
kecil. Dalam kelompok kecil komunikasi selalu diarahkan dua arah dan
tidak ada yang bisa mendominasi percakapan, sehingga dalam kelompok
kecil semua orang harus mendengarkan dan didengarkan. Jika komu-nikasi
seperti ini dipertahankan, maka dengan sendirinya akan muncul rasa
saling memiliki satu sama lain. Implikasi lain yang dimunculkan adalah
adanya keinginan untuk mau melayani sesa-ma.
Menurut Michael S. Olmsted, kelompok kecil setidaknya harus dibangun
dengan dua pilar, yaitu semua anggotanya harus merasa senang (fun) dan kelompok pun harus menjalankan fungsinya (function of training and support).Anggota harus merasa senang untuk bergabung dalam kelompok, tidak ada
unsur paksaan dari luar, atau tekanan yang bersifat fisik atau psikis.
Dia memilih untuk masuk dalam kelompok karena ada rasa nyaman,
kehangatan, dan cinta kasih yang ditawarkan oleh kelompok. Selain itu,
anggota juga memilih untuk hadir dalam kelompok karena ada fungsi yang
ditawarkan yang berguna untuk memperlengkapi setiap anggota dalam
menghadapi kehidupan. Dalam function of training and support,
seseorang akan dilatih secara emosi, intelektual, dan kepribadiannnya.
Interaksi dalam kelompok akan sangat membantu dalam membangun
kepribadian setiap anggota, sehingga “besi menajamkan besi, dan manusia
menajamkan sesamanya” akan sangat terasa dengan jelas dalam kelompok
kecil.
Secara khusus
dalam kelompok juga akan dibahas mengenai pertumbuhan rohani setiap
anggota. Selain membantu untuk membangun kualitas kepribadian seseorang,
kelompok kecil juga akan fokus pada pertumbuhan spiritualitas atau
kerohanian setiap anggota. “Spiritual growth, like emotional growth, does not occur in a vacuum. It comes as we relate to others body of Christ”adalah pernyataan Steve Barker yang bisa dijadikan landasan dalam
membangun kerohanian di kelompok kecil. Pertumbuhan rohani juga
memerlukan orang lain untuk menjadi katalisator dalam kerohaniannya.
Dalam kelompok kecil, aktifitas-aktifitas seperti pembelajaran Alkitab
secara sistematis, persekutuan doa bersama, saling menguatkan, dan
saling menghibur merupakan contoh-contoh kegiatan yang dilakukan untuk
membantu memajukan pertumbuhan rohani.
Salah satu ciri khas lain dari kelompok kecil adalah intimasi yang hangat dalam kelompok,
yang sangat jarang ditemukan dalam persekutuan yang lebih besar seperti
kebaktian umum setiap minggu di gereja. Dalam masyarakat yang majemuk
sekarang, sering sekali ketika duduk dalam gereja dan mengikuti ibadah,
setiap jemaat tidak mengenal siapa orang yang duduk di sampingnya.
Interaksi yang ada hanyalah sebatas formalitas saja, senyuman yang
diberikan pun sering terasa hambar, jabatan tangan pun sering tidak
terasa hangat, dan masih banyak formalitas lainnya. Sebaliknya, hal
formalitas seperti itu tidak berlaku dalam kelompok kecil. Dalam
kelompok kecil, setiap anggota dididik untuk membangun sebuah relasi
yang hangat, saling mau peduli dengan yang lain, yang kuat menopang yang
lemah, setiap anggota saling menyemangati satu dengan yang lain, saling
berbagi, dsb. Idealnya kelompok kecil mungkin tergambar dalam jemaat
mula-mula (Kis 2:41-47) dimana kehidupan yang sangat harmonis terjalin
dengan mesra ketika itu.
Pelayanan
kampus juga memiliki visi untuk menginjili kampus. Kelompok kecil juga
bisa sangat berperan dalam hal ini. Dengan pola pengajaran Alkitab
dengan sistematis, maka hal itu
akan
membantu mereka untuk semakin mengenal Yesus Kristus dan menambahkan
rasa cinta mereka untuk mensyukuri anugerah yang Tuhan berikan kepada
mereka. Sehingga hal ini akan secara otomatis mendorong mereka untuk
menjadi saksi dalam keseharian mereka di kampus, baik dalam kesaksian
hidup, percakapan sehari-hari, dan dalam pergaulan mereka. Sangat
terbu-ka juga kemungkin peristiwa di jemaat mula-mula, dimana
orang-orang tertarik melihat pola hidup setiap anggota kelompok dan
merasa perlu untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar